Tanya :
Ustadz, apa hukumnya
seorang murid berlaku curang (nyontek, dll) dalam ujian? Juga apa hukumnya guru
membantu murid agar nilai ujiannya bagus atas perintah kepala sekolah? (Hamba Allah, bumi
Allah)
Jawab :
Haram hukumnya
seorang murid berbuat curang dalam ujian bagaimana pun bentuk dan caranya,
misalnya bekerjasama dengan teman, mengintip catatan, menerima jawaban lewat
SMS, termasuk mendapat bantuan guru. Semuanya termasuk tindakan curang (al-ghisy)
yang diharamkan.
Dalil keharamannya adalah
hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW suatu saat melewati seonggok
makanan yang dijual di pasar. Lalu Rasulullah SAW memasukkan tangannya ke dalam
onggokan makanan itu hingga jari beliau menyentuh makanan yang basah.
Rasulullah SAW bertanya,”Apa ini wahai penjual makanan?” Penjual makanan
menjawab,”Itu kena hujan wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW berkata,”Mengapa
tak kamu letakkan yang basah itu di atas supaya dapat dilihat orang-orang?
Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami.” (HR Muslim).
Hadits tersebut
dengan jelas menunjukkan keharaman tindakan curang penjual makanan, karena
terdapat qarinah (indikasi) larangan yang tegas (al-nahy al-jazim),
yaitu celaan “bukan golongan kami” (fa-laisa minni) bagi setiap orang
yang berbuat curang. (‘Atha` bin Khalil, Taysir Al-Wushul Ila Al-Ushul,
hlm. 24).
Namun hadits ini tak
hanya berlaku khusus untuk peristiwa tersebut, tapi berlaku umum untuk setiap
tindakan kecurangan dalam segala bentuknya. Sebab redaksi hadits menggunakan
kata yang berarti umum, yaitu “man” (barangsiapa), sesuai bunyi hadits
“Barangsiapa berbuat curang maka ia bukan golongan kami” (Arab : man
ghasysya fa-laisa minnii). Kaidah ushul fiqih menyebutkan : Al-‘ibrah
bi-‘umum al-lafzhi laa bi-khushush as-sabab (makna diambil berdasarkan
keumuman lafazh, bukan berdasarkan kekhususan sebab / latar belakang).
(Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/241).
Pengertian tindakan
curang (al-ghisy) adalah menampakkan sesuatu yang tak sesuai dengan
faktanya (izh-haru ghair al-haqiqah), atau menampakkan sesuatu secara
berbeda dengan apa yang disembunyikan. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah
Al-Fuqaha`, hlm. 252; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm.
652).
Dengan demikian, keumuman
hadits di atas mencakup pula keharaman melakukan kecurangan dalam ujian, baik
yang dilakukan murid maupun guru. Sebab dengan perbuatan curang yang mereka
lakukan akan nampak seolah-olah murid mendapat nilai bagus (berhasil), padahal
kenyataannya mendapat nilai buruk atau gagal ujian.
Guru tak boleh mentaati
perintah kepala sekolah untuk melakukan kecurangan dengan membantu murid
mengerjakan soal ujian. Sebab perintah kepala sekolah itu adalah perintah
maksiat yang tak boleh ditaati. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak ada ketaataan
kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada Al-Khaliq.” (HR Bukhari dan
Muslim).
Lebih dari itu, guru
dan kepala sekolah tak hanya menanggung dosanya sendiri karena membantu dan membolehkan
kecurangan, tapi juga akan menanggung dosa seluruh murid yang telah berbuat
curang atas bantuan guru dan kepala sekolah. Nauzhubillah min dzalik.
Sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa mengadakan perbuatan baik, maka baginya
pahala perbuatan itu dan pahala siapa saja yang melakukan perbuatan itu. Dan
barangsiapa mengadakan perbuatan buruk, maka baginya dosa dari perbuatan itu
dan dosa siapa saja yang melakukan perbuatan itu.” (HR Muslim). Kaidah
fikih menyebutkan : “Man a’ana ‘ala ma’shiyyatin fahuwa syariik fi al-itsmi.”
(Barangsiapa membantu suatu kemaksiatan, maka dia telah bersekutu dalam dosa
akibat kemaksiatan itu). (Syarah Ibnu Bathal, XVII/207). Wallahu
a’lam.