Tanya
:
Ustadz, apakah investasi emas
di GTI Syariah (GTIS) sesuai syariah?
Jawab
:
PT
GTIS (Golden Traders Indonesia Syariah) adalah perusahaan Malaysia yang melakukan
investasi emas dengan dua mekanisme. Pertama, mekanisme nasabah pegang
fisik emas; nasabah membeli emas minimal 100 gram seharga Rp 71.800.000 (lebih
tinggi 20-30% dari harga dasar emas). Nasabah mendapat emas, sertifikat logam
mulia, dan invoice (faktur) pembelian dari GTIS. GTIS menjanjikan fixed
income atau imbal hasil tetap dalam jangka kontrak tertentu, yaitu 1,5%/bulan untuk kontrak 3 bulan,
2%/bulan untuk kontrak 6 bulan, dan 30%/tahun untuk kontrak 1 tahun. Emas
dikirim 3 hari setelah nasabah mentransfer pembayaran ke rekening GTIS. Pada
akhir kontrak, nasabah diberi 3 opsi; (1) menyimpan emas (putus kontrak); (2) menjual
kembali emas kepada GTIS berdasarkan buyback guarantee 100% dengan harga
awal; atau (3) memperpanjang kontrak.
Kedua,
mekanisme nasabah tak pegang fisik emas, sama dengan mekanisme pegang fisik
emas dengan 4
perbedaan; (1) nasabah tak memegang fisik emas, tapi menyerahkan emas kepada
GTIS untuk dititipkan/diinvestasikan oleh GTIS; (2) imbal hasil lebih tinggi, (3) pilihan
jangka kontrak bukan 3 macam (3, 6, dan 12 bulan), tapi hanya 2 macam yaitu 6
bulan (dengan imbal hasil 4,5%/bulan), dan 1 tahun (dengan imbal hasil
5,4%/bulan); (4)
pada akhir kontrak nasabah tak diberi 3 opsi, tapi hanya 2 opsi, yaitu menjual
kembali emas kepada GTIS berdasarkan buyback guarantee 100% dengan harga
awal, atau memperpanjang masa kontrak. (www.majalah-detik.com,
edisi 67, 11-17/3/2013).
Investasi
emas GTIS di atas hukumnya haram secara syar’i dengan dalil-dalil keharaman sbb;
Pertama, terjadi penggabungan dua akad, yaitu jual beli dan bagi hasil (syirkah
mudharabah), menjadi satu akad yang tak terpisah, di mana akad pertama
(jual beli) mengharuskan terjadinya akad kedua (bagi hasil). Padahal penggabungan
dua akad menjadi satu akad yang demikian itu haram hukumnya, sesuai hadits Ibnu
Mas’ud RA bahwa Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu
kesepakatan (akad). (HR Ahmad). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al
Islamiyah, 2/308).
Kedua,
jika transaksi di atas dianggap jual beli, jual belinya tak sah dan haram
secara syar’i, karena tak terjadi serah terima emas secara kontan (cash and
carry), tapi tertunda 3 hari. Ini tak boleh karena emas jika diperjualbelikan
wajib diserahterimakan secara kontan (taqabudh), tak boleh bertempo (nasi`ah)
atau secara kredit (angsuran). Dalil keharamannya antara lain sabda Nabi SAW,”Juallah
emas dengan perak sesukamu, asalkan dilakukan dengan kontan.” (HR
Tirmidzi). Berdasarkan hadis ini, Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan haram
hukumnya menjual emas secara tak kontan. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham
al Iqtishadi fi al Islam, hlm. 267; Ali As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya
al Fiqhiyah al Mu’ashirah, hlm. 331; Adnan Sa’duddin, Ba’iu at Taqsit wa
Tathbiqatuha al Mu’ashirah, hlm. 151).
Ketiga,
jika transaksi di atas dianggap bagi hasil (syirkah mudharabah), bagi
hasilnya juga tak sah (fasad), karena penetapan bagi hasil bertentangan
dengan hukum syirkah Islami. Bagi hasil GTIS dinyatakan dalam persentase dari
modal (harga emas). Ini melanggar syariah, karena seharusnya bagi hasil dinyatakan
dalam persentase dari laba (persentage of the profit), bukan persentase
dari modal (percentage of the capital) atau jumlah uang tertentu (lump
sump of money). (Abdul Aziz Al Khayyath, Asy Syarikat fi As Syari’ah Al
Islamiyyah, 1/169 dan 2/65; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa
Adillatuhu, 4/850; AAOIFI, Shari’a Standards, 2002, hlm. 233).
Keempat,
fixed income GTIS lebih mirip bunga (riba) daripada profit sharing (bagi
hasil), karena tak diimbangi risiko kerugian dari pihak investor seperti dalam mudharabah.
Ini bertentangan dengan syariah, sesuai kaidah fiqih : al ghurmu bil ghunmi (risiko
kerugian adalah imbangan bagi keuntungan). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham
al Iqtishadi fi al Islam, hlm. 190). Wallahu a’lam.