1. Hubungan dengan narasumber harus dikontrol agar tidak terlalu dekat dan tidak terlalu renggang.
Ini
mengarahkan kita menjadi independen. Juga agar tidak diperalat. Menjadi
wartawan bukan untuk mencari kawan, juga tidak mencari lawan - tapi
mencari berita.
Tidak pernah ada dalam kode etik wartawan Indonesia,
atau dalam kode etik wartawan di negara mana pun, atau dalam mata kuliah
jurnalistik, yang menyebutkan profesi wartawan adalah untuk mencari
kawan sebanyak-banyaknya. "Sesungguhnya wartawan adalah pertapa yang
hebat; yang sanggup kesepian di tengah keramaian; karena dia lebih
peduli pada APA daripada SIAPA."
Sebagai wartawan, lebih bagus jika
anda tidak punya profesi lain. Hindari menjadi pengurus parpol, LSM,
apalagi pemborong. "Semakin sedikit predikat yang disandang, semakin
baik seorang wartawan menulis," ujar Katharine Graham, pemilik
Washington Post. "Wartawan ya wartawan. Titik," kata Bambang Soed dari
Tempo.
2. Cara terbaik menjadi penulis yang baik adalah: mulai
dulu menjadi pembaca yang baik. Usahakan menulis feature setidaknya
sekali dua minggu .
Wartawan yang bisa menulis feature sudah
pasti "sempurna" menulis berita biasa - yang berpola piramida terbalik.
Sebaliknya belum tentu. Berita politik atau berita bisnis tidak dibaca
semua orang. Tapi feature, pasti banyak dibaca.
3. Berita bukan cuma mengenai pejabat, tapi kisah rakyat kecil.
Anda
mungkin pernah membaca beberapa tahun lalu sebuah berita feature di
halaman depan Kompas. Bukan mengenai Presiden yang bermain dengan
cucunya; tapi tentang seorang buruh pabrik sandal yang diadukan ke
polisi dengan tuduhan mencuri sepasang sandal. Padahal dia cuma memakai
sebentar sandal itu ke mushola untuk sembahyang.
Bayangkan, berita
sepele itu muncul di halaman depan koran sebesar Kompas. Dan inilah
kelemahan banyak koran daerah: sering menganggap hanya berita tentang
gubernur atau bupatilah yang layak di halaman depan; padahal justru
kisah-kisah humanis tentang orang-orang kecil itulah yang idealnya
diangkat pers ke permukaan. Apakah itu karena wong cilik tak mampu kasih
amplop kepada wartawan seperti halnya amplop temu pers pejabat?
4. Jurnalisme adalah pekerjaan orang-orang kreatif.
Bagi
penulis dan jurnalis, menemukan ide-ide, apalagi orisinal, bagai
menemukan harta karun. Perhatikan lingkungan; jangan cuma lihat. Simak
pembicaraan orang; jangan hanya dengar. Berpikir kreatif kulakukan
dengan berkhayal sebelum tidur di tengah malam; atau ketika jongkok di
toilet sambil mengepulkan asap rokok. Bila ide muncul, langsung catat di
kertas atau laptop.
5. Gunakan istilah yang spesifik dan mudah dimengerti.
Pakai kata khusus; bukan kata umum. Hindari repetisi dan kata-kata berkabut.
Tulislah
"Lima penjambret dompet ditangkap dalam perayaan Natal" Jangan tulis
"Sejumlah kriminal diamankan aparat untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya karena melakukan tindak pidana dalam perayaan hari raya
Kristen yang suci dan khusyuk."
Tak ada salahnya sesekali
bereksperimen dengan kosa-kata dan frasa baru. Itu membuat karya anda
senantiasa segar dan tidak membosankan. Jangan pernah berpikir akan
dipuji sebagai wartawan hebat karena anda menulis istilah-istilah sulit,
berbahasa asing, dan ilmiah. Bila anda gemar menyelipkan kata-kata
ilmiah pada setiap kalimat dan alinea, cobalah menulis buku pelajaran
atau jadi dosen - anda sudah kesasar berprofesi sebagai wartawan.
6. Semakin jarang mengutip sumber anonim, semakin baik.
Semakin
berani seorang sumber disebutkan identitasnya, semakin kecil
kemungkinan ia berbohong. Ada tips untuk ini. Jika mulai curiga si
narasumber berbohong, langsung keluarkan alat perekam atau kamera. Jika
memang sedang berbohong, biasanya dia menolak untuk direkam atau difoto.
7. Wartawan harus berkarakter.
Jangan
jadi wartawan kebanyakan. Maka anda harus jadi wartawan berkarakter.
Maksudnya adalah karakter pada tulisan; bukan penampilan diri, apalagi
kalau harus menggondrongkan rambut dan memakai sandal jepit ketika
meliput.
Buatlah pembaca membolak-balik koran hanya untuk mencari
tulisan anda. Pendiri Kompas Jacob Oetama mengatakan, setiap wartawan
harus menetapkan etika dan standarnya sendiri-sendiri.
Dalam berita
seminar ilmu fisika misalnya, kita harus menulis gelar si pembicara agar
publik tahu layak tidaknya dia bicara soal fisika. Atau dalam berita
walikota yang baru dilantik, tentu bagus menjelaskan apa saja gelarnya
untuk pertama kali.
Jangan sesekali menjiplak berita dari wartawan
lain, apalagi menjiplak yang sudah terbit. Karena itu menjadikan
karya-karya kita tidak berkarakter.
8. Belajarlah memotret.
Berita
koran akan lebih menarik jika disertai foto. Meskipun tugas utama
reporter adalah menulis, sebaiknya jangan malas memotret. Terkadang
sebuah foto yang kuat lebih layak menghabiskan lima kolom koran
dibanding berita.
Perhatikan foto-foto lepas di Kompas atau Koran
Tempo. Tiga hal pokok dalam foto jurnalistik adalah momen (waktu terbaik
menjepret tombol pembuka rana), angle (sudut pengambilan kamera), dan
komposisi gambar. Foto jurnalistik yang baik tidak selalu harus fokus
atau berwarna tajam dan indah. Yang utama ialah: foto itu menjelaskan
sesuatu. Katakan seorang reporter menyertakan foto untuk berita rapat
pemkab seperti ini: gambar seorang PNS memunguti kertas yang lepas dari
tangannya dengan latar bupati sedang berbicara. Foto ini sangat pantas
untuk dimuat.
9. Jangan menginterogasi; anda bukan polisi.
Tugas
wartawan sebatas memberitahu publik apa yang terjadi. Maka jangan
memosisikan diri sebagai interogator, jaksa, atau hakim ketika
mewawancarai narasumber.
Pakailah bahasa yang santun. Kritis tidak
berarti harus kasar. Lebih baik kita terlihat bodoh di depan narasumber
daripada konyol di mata pembaca.
10. Senjata wartawan yang paling ampuh adalah bertanya.
Amunisi
paling tajam adalah kata-tanya "mengapa". Karena pertanyaan dengan kata
tanya "mengapa"ini akan mengungkapkan alasan dan letarbelakang
terjadinya suatu peristiwa.