Belajar dari Bilal bin Rabah

Dan Habsyah Yang Hitam yang tak memiliki apapun bahkan tidak memiliki diri dan hidupnya sendiri (Budak) berubah menjadi uswah keteguhan dan ketegaran pendirian.

Mungkin kita telah mengenal siapa Bilal Bin Rabah. Ya ia adalah orang yang hitam dan muadzin pertama yang mengumandangkan adzan di zaman nabi Muhammad SAW. Dan Hampir semua orang muslim mengetahui itu dan anak – anak pun mungkin mengetahui denangan kata – kata Ahad.
Wujud pelajaran apakah yang akan kita abil dari Beliau. Sengaja penulis memulai dari Bilal bin Rabah ini untuk menunjukan bahwa kekuatan motivasi daapat muncul dari orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Tidak sekedar miskin, namun ia tidak memiliki dirinya sendiri.

Dari terik matahari padang pasir Mekkah kita memulai pelajaran ini. Disaat udara padang pasir yang begitu panas membakar kulit. Dimana matahari yang bertepatan diatas ubun-ubun kepalanya. Seorang budak hitam tengah berbaring disana. Di atas dadanya ditindihkan sebngkah batu besar. Umayyah bin Khalaf seorang pemuka Bani Jum’ah tengah terkekeh-kekeh sombong ketika melihat bilur-bilur merah kehitaman (luka lebam) di tubuh Bilal akibat cambukan yang dideritanya. Setiap kali Umayyah mengangkat mengangkat cambuknya, bukan hanya cambuknya saaja yang terangkat, namun kulit dan daging Bilal pun ukut terangkat, bersamaan dengan darah segar yang menyambur dari lukanya yang terbuka.

Untuk apa Umayyah melakukan penyikasaan yang tak beradab itu? Dan siapa dia? Umayyah adalah tuan dari Bilal, dalam katalain Bilal adalah budaknya Umayyah. Dan yang diinginkan Umayyah adalah agar Bilal kembali Kafir sebagaimana dirinya. Agar Bilal kembali kepada ajaran nenek moyangnya. Agar Bilal kembali menyambah tiga ratus enam puluh (360) berhala yang dipasang di sekeliling ruangan di dalam Ka’bah.


Begitu dasyatnya siksaan itu . begitu sesaknya nafas karenan sebongkah batu besar di atas dada. Begitu pedihnya setiap daraan cambuk. Dan begitu pedihnya udara panas yang bercampur pasir  menyentuh luka – luka yang ada. Sungguh mengerikan jika dibayangkan. Namun, setiap kali Umayyah memaksanya untuk kembali kafir, maka tidak ada yang keluar dari mulut Bilal kecuali kerkataan “ Ahad…… Ahad….” seolah setiap cambukan Umayyah tak sedikitpun mengoyahkan pendiriannya.

Alangkah Hebatnya. Seorang budak yang belum lama beriman, ternyata mampu mempertahankan keimanannya meskipun dipanggang di bawah terik matahari gurun pasir. Seorang yang bahkan tidak memiliki kehidupanya sendiri mampu bertahan dengan segenap siksa yang sangat mengerikan. Gerangan dorongan kekuatan apa yang sebenarnya berada dibalim ketegaran Bilal bin Rabah?

Kekuatan yang aneh nan luar biasa. Kekuatan yang bahkan mampu membuat para penyiksanya putus asa karena tak mampu menggiyahkannya. Pada suatu malam orang-orang kafir yang menyiksanya berkata : “Sudahlah tolongkatakan saja Tuhanmu adalah Latta dan Uzza, agar kam berhenti menyiksamu karena sesungguhnya kami telah lelah melakukannya”. Dapat kita banyangkan di tinggal di dinginnya malam gurun dengan batu diatas dada yang berhari di tinggal di sana.

Motivasi apa yang membuat Bilal dapat melalui penderiaannya tersebut. Sebuah dorongan kuat yang begitu mengunggahj auh melampaui syiar-syiar perang yang didendangkan oleh suku Aus dan Khazraj di Yatsrib(Madinah). Dorongan itulah yang membuat Bilal bin Rabah seperti tidak merasakan apa-apa saat cambuk Umayyah berkali-kali menderitanya .

Kedasyatan kekuatan pendirian Beliau benar-benar telah mampu merubah dirinya yang dulu sekedar seorang budak Habsyi yang terhina menjadi sosok mulia yang smpai saat ini hampir tidak seorangpun dari kaum muslim yang tidak mengenal namanya. Nama Bilal tetap terpatri di mesjid-mesjid kaum muslim sebagai wujud dan perlambang kemuliaannya di dalam Islam.

Bahkan Umar bin Khatab menyebut Bilal sebagai seorang pemimpin, dengan perkataannya :” Abu Bkar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita.” Benar Bilal lah yang telah dibebaskan oleh Abu Bkar dari perbudakan penyiksaan orang-orang Qurays itu.

Seseorang yang diberi gelar oleh Umar sebagai “seorang pemimpin””, tentulah memiliki suatu pribadi yang agung yang layak dan berhak memperoleh kehormatan seperti itu. Namun setiap menerima pujian yang tinggi tersebut kepada dirinya, maka lelaki yang berkulit hitam, kurus, tinggi jangkung, berambut lebat ini, akan menundukan kepala dan memejamkan mata, dan tak kuasa ia membendung airmatanya, ia berkata :” Saya ini hanya seorang Habyis…, dan saya kemarin hanyalah seorang budak belian!”

Sungguh keagungan dan kekuatan prinsip yang berpadu dengan kerendahan hati yang sangat luar biasa telah mampu di tunjukan oleh seorang Bilal, seorang yang dulunya seorang budak belian menjadi seorang yang bekedudukan mulia di sisi Rasulullah SAW. Bilal telah menjadi cermin kekokohan dan kekuatan motivasi yang tak terpatahkan.